Tujuan ini menargetkan pada tahun 2030 kemiskinan di desa mencapai 0 persen. Artinya, pada tahun 2030, tidak boleh ada penduduk miskin di desa. Untuk mencapai target tersebut, tentu banyak kebijakan yang harus diambil dan dilaksanakan bersama-sama, dalam rangka pencapaian tujuan Desa tanpa kemiskinan, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pemerintah desa, seperti, meningkatkan pendapatan penduduk miskin, menjamin akses terhadap pelayanan dasar serta melindungi seluruh masyarakat dari segala bentuk bencana.
Saat ini, kemiskinan masih menjadi problem semua negara di dunia. Karena itulah, agenda utama SDGs adalah menghapuskan kemiskinan di dunia pada tahun 2030. Dalam Outcome Document Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development, disebutkan tujuan utama pembangunan adalah mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun (end poverty in all its forms everywhere).
Dalam RPJPN 2005-2025, masalah kemiskinan dilihat dalam kerangka multidimensi, karenanya kemiskinan bukan hanya terkait ukuran pendapatan, melainkan menyangkut beberapa hal, antara lain: (i) kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin; (ii) menyangkut ada/tidak adanya pemenuhan hak dasar warga dan ada/tidak adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang. Dibandingkan dengan Maret 2019, jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat sebanyak 1,28 juta orang. Persentase penduduk miskin pada Maret 2020 tercatat sebesar 9,78 persen, meningkat 0,37 persen dari Maret 2019. Sedangkan berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase tingkat kemiskinan di desa pada Maret 2020 sebesar 12,82 persen, turun 0,03 persen dari bulan Maret 2019 yang mencapai 12,85 persen, sedangkan tingkat kemiskinan di wilayah kota malah naik 0,69 persen, dari 6,69 persen menjadi 7,38 persen.
Disagregasi menurut daerah tempat tinggal menunjukkan bahwa penduduk perkotaan juga memiliki rata-rata pengeluaran per kapita sebulan yang lebih besar dibandingkan penduduk di perdesaan. Akan tetapi, pangsa pengeluaran pangannya lebih kecil. Rata-rata setiap penduduk di perdesaan menghabiskan 913.649 rupiah dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan, yaitu makanan (Rp 508.685) dan bukan makanan (Rp 404.964). Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya digunakan membeli komoditas makanan. Di sisi lain, penduduk perkotaan menghabiskan lebih dari satu juta rupiah setiap bulannya (Rp 1.436.282 /kapita/bulan). Dari jumlah tersebut, hanya 45,97 persen yang digunakan untuk membeli komoditas makanan.
“Dalam rangka mencapai target 0 persen kemiskinan di desa pada tahun 2030, ada beberapa sasaran yang harus dicapai di desa. Diantaranya, sebanyak 100 persen masyarakat desa memiliki kartu jaminan kesehatan; penyandang difabilitas miskin dan perempuan kepala keluarga (PEKKA) 100 persen menerima bantuan pemenuhan kebutuhan dasar; cakupan layanan kesehatan, persalinan dan imunisasi, pemakaian kontrasepsi, akses air minum dan sanitasi baik 40 persen penduduk berpenghasilan terendah; akses dan layanan pendidikan; hunian yang layak untuk penduduk berpendapatan rendah; serta terpenuhinya kebutuhan dasar lainnya”
Pada tahun 2030, tujuan ini menargetkan tidak ada kelaparan di desa, juga desa mencapai kedaulatan pangan, memperbaiki nutrisi dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan. Tujuan ini sejalan dengan prioritas pembangunan Indonesia yang termaktub dalam prioritas ketahanan pangan dan penciptaan lapangan kerja.
Kelaparan seringkali didefinisikan sebagai kondisi kekurangan asupan kalori pada seseorang (GHI, 2019), kekurangan jumlah makanan untuk memenuhi kebutuhan tubuh dapat beraktivitas dan hidup sehat (Fan dan Polman, 2014). Menurut FAO (2008), kelaparan biasanya dipahami sebagai penyakit yang disebabkan oleh kekurangan energi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi.
Global Hunger Index (2019) menunjukkan tingkat kelaparan dan kekurangan gizi di dunia terus mengalami penurunan sejak tahun 2000. Penurunan tingkat kelaparan ini berkaitan dengan turunnya angka kemiskinan dunia dari 28,6 persen pada tahun 1999 menjadi 9,9 persen. Dari riset tersebut diketahui bahwa, indeks kelaparan di Indonesia masuk dalam kategori serius dengan skor sebesar 20,1. Dari 117 negara, Indonesia menempati peringkat 70.
Secara nasional rata-rata konsumsi kalori perkapita perhari penduduk Indonesia pada Maret 2019 sebesar 2.120,52 Kkal. Ini sudah berada di atas standar kecukupan. Konsumsi protein sebesar 62,13 gram perkapita perhari, juga sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein.
Apabila dilihat menurut klasifikasi daerah tempat tinggal, rata-rata konsumsi kalori perkapita sehari penduduk di daerah perkotaan sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi kalori perkapita sehari, yaitu sebesar 2.119,77 Kkal, sedangkan di perdesaan angkanya juga sudah melampaui standar kecukupan konsumsi kalori perkapita sehari, yaitu 2.121,47 Kkal. Baik di daerah perkotaan maupun di perdesaan, konsumsi protein perkapita perhari sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein. Konsumsi protein perkapita sehari penduduk di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di daerah perdesaan, yaitu 64,42 gram di daerah perkotaan berbanding 59,23 gram di daerah perdesaan.
“Agenda kedua SDGs Desa adalah mengakhiri segala jenis kelaparan di desa pada tahun 2030 serta mengupayakan terciptanya ketahanan pangan, untuk menjamin setiap orang memiliki ketahanan pangan yang baik menuju kehidupan yang sehat. Pencapaian tujuan ini membutuhkan perbaikan akses terhadap pangan dan peningkatan produksi pertanian secara berkelanjutan, yang mencakup peningkatan produktivitas dan pendapatan petani, pengembangan teknologi dan akses pasar, sistem produksi pangan yang berkelanjutan, serta nilai tambah produksi pertanian”.
Tujuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupan warga desa yang sehat demi terwujudnya kesejahteraan. Tujuan ini menyaratkan tersedianya akses yang mudah terhadap layanan kesehatan bagi warga desa.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, bahwa proporsi pengetahuan rumah tangga terhadap kemudahan akses ke rumah sakit, dilihat dari jenis transportasi, waktu tempuh dan biaya, hasilnya adalah: mudah 37,1 persen; sulit 36,9 persen; dan sangat sulit 26 persen.
“Untuk itulah, dalam rangka mencapai tujuan SDGs Desa tersebut, pemerintah desa dan supra desa harus menjamin tersedianya: akses warga desa terhadap layanan kesehatan; terjangkaunya jaminan kesehatan bagi warga desa; menurunnya angka kematian ibu (AKI); angka kematian bayi (AKB); peningkatan pemberian imunisasi lengkap pada bayi; prevalensi pemakaian kontrasepsi; pengendalian penyakit HIV/AIDS, TBC, obesitas, malaria, kusta, filariasis (kaki gajah); pengendalian penyalahgunaan narkoba, serta menurunnya angka kelahiran pada usia remaja”.
Pembangunan
berupaya meningkatkan pendapatan bagi penduduk miskin desa, menjamin akses
warga desa terhadap pelayanan dasar, serta melindungi seluruh warga desa dari
segala bentuk bencana. Untuk mencapai tujuan peningkatan pendapatan bagi
penduduk miskin desa, maka target utama dari tujuan ini adalah peningkatan
kualitas sumber daya manusia (SDM) desa. Pendidikan merupakan bentuk investasi
yang menentukan masa depan bangsa. Pendidikan menjadi syarat peningkatan
kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM) desa.
Oleh karena itu, pemerintah desa bersama-sama dengan supra desa harus
memastikan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas
bagi warga desa, serta akses yang mudah bagi warga desa terhadap layanan
pendidikan.
Dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019, angka melek huruf wilayah perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan angka melek huruf wilayah perkotaan (BPS, 2019). Pada tahun 2019, angka melek wilayah perdesaan sebesar 93,56 persen, sedangkan angka melek huruf wilayah perkotaan mencapai 97,71 persen. Oleh karena itu, pencapaian SDGs Desa Keempat ini sangat penting dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Selain itu, rata-rata lama sekolah di Indonesia masih sangat rendah. Pada tahun 2018 rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru 8,17 tahun, kemudian mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2019 menjadi 8,34 tahun. Artinya, rata-rata penduduk Indonesia tidak dapat menamatkan pendidikan menengah pertama, atau putus sekolah pada tahun terakhir pendidikan menengah pertama.
“Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan SDGs Desa Pendidikan Desa Berkualitas, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah desa dengan dukungan dari supra desa adalah: akses warga desa terhadap layanan pendidikan terakreditasi; akses warga desa terhadap lembaga pendidikan pesantren; serta memastikan tersedianya layanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau untuk warga desa.
Selain itu, tujuan ini berfokus pada tersedianya layanan pendidikan keterampilan bagi warga desa, layanan pendidikan pra sekolah, pendidikan non formal, serta ketersediaan taman bacaan atau perpustakaan desa.”
Dengan tujuan ini, pemerintah desa dengan dukungan dari berbagai pihak menjadi garda terdepan dalam pengarusutamaan gender. Pada tahun 2030, Tujuan SDGs Desa adalah terciptanya kondisi yang menempatkan semua warga desa dalam posisi yang adil, tanpa diskriminasi terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Selain memberikan perlakuan yang adil, dibuka kesempatan yang sama dalam urusan publik bagi perempuan desa. Tercapainya tujuan SDGs Desa ini juga menyaratkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Beberapa indikator tercapainya tujuan SDGs Desa ini adalah: tersedianya ruang dan kesempatan bagi keterlibatan perempuan dalam pemerintahan desa, baik sebagai aparatur desa maupun dalam Badan Perwakilan Desa (BPD); median usia kawin pertama perempuan; layanan kesehatan untuk perempuan, dan layanan pendidikan untuk perempuan; serta keterlibatan perempuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa.”
Air bersih dan sanitasi layak adalah kebutuhan dasar manusia. Pemenuhan air bersih dan sanitasi yang layak masih menjadi problem di seluruh dunia. Karena itulah, pemenuhan atas kebutuhan air bersih, air minum dan sanitasi menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pada periode 2015 sampai tahun 2019, persentase akses rumah tangga terhadap air minum layak, baik di wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan mengalami peningkatan.
Tidak jauh berbeda dengan data rumah tangga yang memiliki air bersih dan layak minum, persentase akses rumah tangga terhadap sanitasi layak mengalami peningkatan. Berdasarkan wilayah, baik wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan, akses rumah tangga terhadap sanitasi layak dari tahun 2015 sampai tahun 2019 mengalami peningkatan, seperti pada tabel berikut.
“Tercapainya tujuan SDGs Desa ini dapat diukur dari beberapa hal, seperti: akses rumah tangga terhadap air minum dan sanitasi layak mencapai 100 persen pada tahun 2030; terjadinya efisiensi penggunaan air minum; serta adanya aksi melindungi dan merestorasi ekosistem terkait sumber daya air, termasuk pegunungan, hutan, lahan basah, sungai, air tanah, dan danau.”
Selama 10 tahun terakhir produksi minyak bumi di Indonesia menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 346 juta barel (949 ribu bph) pada tahun 2009 menjadi sekitar 283 juta barel (778 ribu bph) di tahun 2018 (DEN, 2019). Penyebabnya antara lain kondisi sumur-sumur di Indonesia yang semakin tua. Di sisi lain, kebutuhan terhadap energi semakin meningkat, yang salah satunya disebabkan pertambahan penduduk yang meningkatkan pertumbuhan kebutuhan penduduk terhadap energi.
Selain itu, peningkatan infrastruktur dan peningkatan teknologi pendukung untuk menyediakan energi yang lebih bersih dan efisien di semua negara dapat memicu pertumbuhan positif serta membantu mengurangi dampak lingkungan (Institute for Essential Services Reform, 2019)
Energi merupakan penggerak perekonomian dan prasyarat dalam pembangunan. Ketersediaan energi yang cukup dan terjangkau dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan yang berkualitas, yang mendukung pembangunan manusia berkualitas. Penyediaan akses energi yang lebih luas di daerah dan desa terpencil, di mana akses energinya sangat terbatas, telah berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat secara nyata (Mursanti dan Tumiwa, 2019)
Rasio elektrifikasi merupakan indikator yang digunakan pemerintah untuk mengukur jangkauan penyediaan energi di Indonesia, yang didefinisikan sebagai jumlah rumah yang tersambung dengan listrik tanpa melihat kualitas penyediaan listrik yang diterima. Sampai tahun 2019, tidak semua desa di Indonesia teraliri listrik. Data Kementerian Desa. PDT dan Transmigrasi menunjukkan bahwa, pada hingga tahun 2019, sebanyak 1.667 desa di Indonesia yang mencakup 258.252 keluarga sama sekali tidak memiliki fasilitas kelistrikan.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, PLN merencanakan untuk melanjutkan penyediaan listrik desa sesuai dengan Road Map Listrik Desa 2017 – 2021 sebagai bagian dari upaya mencapai target elektrifikasi sebesar 99,7% pada 2025.
Strategi listrik desa yang diambil adalah melakukan perluasan jaringan distribusi yang sudah ada dan membangun pembangkit energi terbarukan serta pembangkit hibrid untuk desa-desa yang sangat terpencil serta penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak/BBM (PLN, 2017)
Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan penduduk terhadap energi, serta untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sebagaimana komitmen global, pemerintah mendorong untuk meningkatkan peran energi baru dan terbarukan secara terus menerus sebagai bagian upaya menjaga ketahanan dan kemandirian energi. Sesuai PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050.
“Tujuan SDGs Desa ini memastikan semua orang memiliki akses terhadap energi terbarukan. Capaian tujuan ini sampai tahun 2030 dapat diukur dengan beberapa indikator, di antaranya: konsumsi listrik rumah tangga di Desa mencapai minimal 1.200 KwH; Rumah tangga di Desa menggunakan gas atau sampah kayu untuk memasak; penggunaan bauran energyi terbarukan di desa.”
Menghadapi Pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia dan bahkan dunia menghadapi tantangan yang sangat berat. Pada triwulan II-2020, BPS (2020) merilis terjadinya kontraksi ekonomi Indonesia sebesar -5,32. Akibatnya, penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang, atau 9,78 persen. Jumlah ini mengalami peningkatan 1,28 juta orang, atau naik 0,37 persen dari dari Maret 2019. Di perdesaan, jumlah orang miskin turun 0,03 persen, sedangkan di perkotaan naik 0,69 persen.
Hal serupa terjadi dengan Nilai Tukar Petani (NTPT) yang mengalami penurunan dari 99,94 pada bulan Juli 2020 menjadi 98,64 pada bulan Agustus 2020, atau turun sebesar 1,31. Sebelumnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2020 mencapai 4,99 persen, turun 0,02 persen poin dibanding TPT Februari 2019.
“Pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan hasil pembangunan menjadi target utama tujuan SDGs Desa ini, di antaranya dengan cara menciptakan lapangan kerja yang layak, serta membuka peluang ekonomi baru bagi semua warga desa. Indikator keberhasilan tujuan ini mencakup terserapnya angkatan kerja dalam lapangan kerja; terlaksananya padat karya tunai desa yang mampu menyerap 50 persen angkatan kerja desa; tempat kerja yang memberikan rasa aman dan dilengkapi dengan fasilitas layanan kesehatan.”
Modal fisik dan sumber daya manusia berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan modal fisik sangat terkait dengan ketersediaan dana investasi (Maryaningsih, dkk: 2014). Studi dari World Bank (1994) menyebutkan elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%, ini angka yang cukup signifikan.
Oleh karena itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif, maka keandalan infrastruktur desa sangat menentukan. Mulai dari infrstruktur jalan desa, jalan poros desa, maupun infrastruktur lainnya, yang mendukung aktivitas ekonomi warga desa, seperti infrastruktur bidang pertanian, perikanan, serta sektor-sektor lainnya.
“Selain infrastruktur, SDGs Desa juga menekannya lahirnya inovasi di desa dalam semua bidang, seperti ekonomi, pelayanan publik, serta produk-produk unggulan desa. Oleh karena itu, SDGs Desa menggunakan beberapa indikator keberhasilan yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa maupun supra desa, di antaranya: kondisi jalan yang andal; dermaga/tambatan perahu; pertumbuhan industri di desa; serta kontribusi industri terhadap pertumbuhan ekonomi desa.”
Isu kesenjangan selalu menyertai aktivitas pembangunan. Kesenjangan pendapatan dan kekayaan telah menjadi isu global dan cenderung meningkat pada beberapa dekade terakhir, bahkan di negara-negara berkembang kesenjangan meningkat hingga 11%. Saat ini 1% populasi terkaya di dunia menguasai hingga 40% aset global, sementara 10% penduduk miskin dunia hanya mendapatkan 2% hingga 7% (Oxfam, 2020).
Perencanaan pembangunan yang sentralistik, tidak mempertimbangkan kondisi spasial, lebih besar kemungkinannya untuk memperparah kesenjangan, baik kesenjangan antar daerah maupun kesenjangan antar orang. Kesenjangan merupakan indikator bahwa hasil pembangunan ekonomi suatu daerah atau negara, tidak dinikmati secara merata oleh berbagai kelompok kesejahteraan. Oleh karena itu, upaya penurunan ketimpangan menjadi upaya penting dalam mengatasi kemiskinan (Yusuf dan Summer, 2015).
Pada Maret 2020 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,381 (BPS, 2020). Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,380, walaupun menurun 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 sebesar 0,382. Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,393, naik dibandingkan Gini Ratio September 2019 sebesar 0,391 dan Gini Ratio Maret 2019 sebesar 0,392. Sedangkan Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,317, naik dibandingkan Gini Ratio September 2019 yang sebesar 0,315, namun tidak berubah dibanding Gini Ratio Maret 2019 sebesar 0,317.
“SDGs Desa bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan kesenjangan tersebut pada tahun 2030. Untuk itulah, keberhasilan capaian tujuan ini diukur dengan koefisien Gini desa; tingkat kemiskinan di desa; status perkembangan desa; serta indeks kebebasan sipil di desa.”
Pemukiman adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi, agar manusia dapat menjalankan fungsi-fungsi sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Pemenuhan hak atas pemukiman menyaratkan pemukiman yang layak, bersih, aman, dan berkelanjutan. Persentase jumlah rumah layak huni di perkotaan lebih banyak dibandingkan di perdesaan.
Kebutuhan pemukiman layak huni dengan harga terjangkau sering kali tidak diimbangi dengan ketersediaan pemukiman yang memenuhi standard sarana prasarana yang dibutuhkan, seperti ruang terbuka hijau, lapangan olah raga, tempat usaha dan perdagangan, fasilitas umum, sanitasi, air bersih, dan pengelolaan limbah.
“Tujuan ini, sampai dengan tahun 2030, menargetkan terwujudnya desa yang inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan, dengan beberapa target capaian kawasan permukian yang bersih dan sehat, terciptanya keamanan lingkungan melalui swadaya masyarakat, serta terbangunnya partisipasi semua pihak dalam pembangunan desa.”
Tujuan ini berkaitan dengan upaya mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan terhadap bumi melalui pola produksi dan konsumsi yang sewajarnya. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator penting dalam mewujudkan kesejahteraan warga. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang diciptakan harus mempertimbangkan keberlanjutan. Oleh karena itu, diperlukan langkah pengurangan jejak ekologi dengan mengubah cara memproduksi dan mengkonsumsi makanan dan sumber daya lainnya. Pemisahan pertumbuhan ekonomi dari penggunaan sumber daya dan degradasi lingkungan adalah salah satu tujuan SDGs Desa.
Efisiensi dalam pengelolaan sumber daya alam milik bersama, serta upaya mengurangi sampah beracun dan polutan adalah target penting untuk meraih tujuan ini. Salah satunya dengan mendorong warga, dunia usaha, serta konsumen untuk mendaur ulang dan mengurangi sampah. Untuk itulah, diperlukan pergeseran aktivitas produksi dan konsumsi yang lebih berkelanjutan.
Diperlukan kebijakan desa yang kondusif dan memiliki perspektif pelestarian lingkungan. Salah satunya ditentukan dengan penanganan limbah dan sampah sesuai kebutuhan. Penanganan sampah secara benar mendukung terciptanya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
Penanganan sampah di perkotaan lebih terdata dibandingkan di perdesaan. Di perkotaan juga dibangun Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Namun hal tersebut tidak terjadi di perdesaan. Tabel 5.9 menunjukkan persentase rumah tangga di perkotaan berdasarkan cara penanganan sampah yang paling sering dilakukan (BPS, 2017).
“Indikator keberhasilan SDGs Desa ini di antaranya dapat dilihat dari kebijakan desa yang mengatur tentang pengelolaan limbah dunia usaha; terjadinya efisiensi penggunaan sumber daya alam; serta usaha pengelolaan sampah rumah tangga maupun sampai dunia usaha.”
Dampak perubahan iklim telah dirasakan hampir oleh seluruh negara di dunia dan telah memberikan konsekuensi buruk pada kehidupan. Menurut data UNDP (2019), emisi gas rumah kaca saat ini lebih dari 50% lebih tinggi dibandingkan tahun 1990. Kerugian ekonomi rata-rata tahunan akibat bencana terkait iklim mencapai ratusan miliar dolar. Belum lagi dampak bencana geofisik terhadap manusia yang 91% terkait dengan iklim, antara tahun 1998 dan 2017 telah menewaskan 1,3 juta orang dan menyebabkan 4,4 miliar orang terluka.
Di Indonesia, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) meningkat hingga hampir tiga kali lipat antara tahun 1990 dan 2015 (+196 persen), dan laju peningkatannya diperkirakan akan semakin bertambah hingga tahun 2030. Sumber emisi tertinggi berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut, diikuti oleh emisi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk energi. Selain itu, Indonesia mencatat peningkatan emisi CO2 sebesar 18 persen sepanjang 2012-2017, yang disebabkan karena meningkatnya emisi dari pembangkit listrik, sektor industri, dan sektor transportasi. Perlu dicatat, bahwa total emisi Indonesia sangat bervariasi dari tahun ke tahun, sebagian besar sebagai akibat dari kebakaran lahan gambut.
“SDGs Desa ini bertujuan untuk membantu pengurangan dampak perubahan iklim global, dengan beberapa program yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Keberhasilan capaian tujuan ini dapat dilihat dari beberapa indikator, salah satunya dengan indeks resiko bencana di desa.”
Lebih dari 3 miliar orang menggantungkan mata pencaharian pada laut dan keanekaragaman hayati pantai, dan sumber daya laut telah menyumbang sekitar $28 triliun bagi ekonomi global setiap tahun (UN, 2019). Selain itu, lautan juga menyerap 30 persen karbon dioksida yang diproduksi manusia. Namun yang terjadi saat ini adalah kerusakan perairan pesisir yang terus menerus karena polusi dengan rata-rata 13.000 keping sampah plastik/km2 lautan, pengasaman laut, dan 30 persen simpanan ikan dunia mengalami eksploitasi berlebih, jauh di bawah level di mana mereka bisa memproduksi hasil yang berkelanjutan (Bappenas, 2019)
Dengan panjang garis pantai mencapai 99.093 km dan luas wilayah perairan 6.3 juta km2 (BIG, 2016), Indonesia memiliki wilayah laut yang menjadi pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Kekayaan laut Indonesia memberikan manfaat ekonomi dan sosial untuk penduduk Indonesia. Pada tahun 2016, sektor perikanan Indonesia menyumbang Rp 76,7 miliar pada kuartal I dan Rp 77,7 miliar pada kuartal II untuk produksi domestik bruto (PDB) Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016).
“Oleh karena itu, tujuan SDGs Desa ini adalah untuk melindungi pantai dan lautan. Untuk mengukur keberhasilan capaian tujuan ini, digunakan beberapa indikator berikut: kebijakan desa terkait perlindungan sumberdaya laut; terjadinya peningkatan penangkapan ikan secara wajar; serta tidak terjadinya illegal fishing.”
Kebutuhan terhadap pangan terus mengalami peningkatan secara global. Pada tahun 2050, diperkirakan sebanyak 9 miliar orang akan mengisi bumi yang dikombinasikan dengan degradasi lingkungan dan urgensi lahan. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya menjadikan lahan tetap aman dan produktif, khususnya di daratan (UN, 2018). Namun, pada tahun 2018 lahan kritis di seluruh Indonesia berjumlah 9.453.729 ha, sedangkan lahan sangat kritis mencapai 4.552.721 ha (BPS, 2020).
“Demi terpenuhinya kebutuhan manusia saat ini dan masa yang akan datang, serta demi melindungi margasatwa, maka SDGs Desa ini bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dan margasatwa. Untuk melihat keberhasilan capaian tujuan ini, digunakan indikator diantaranya kebijakan pemerintah desa terkait upaya pelestarian keanekaragaman hayati; luas lahan terbuka hijau; serta jumlah satwa terancam punah.”
SDGs Desa salah satunya bertujuan untuk mewujudkan kondisi desa yang aman, sehingga dapat memastikan pemerintah desa dapat bekerja secara adil dan efektif. Oleh karena itu, beberapa upaya yang harus dilakukan Pemerintah Desa dan Supra Desa adalah mengurangi segala bentuk kekerasan secara signifikan, dan menemukan solusi jangka panjang menghadapi konflik warga desa. Selama ini kejadian kejahatan di desa masih cukup tinggi.
Selama periode 2011 – 2018, jenis kejadian kejahatan pencurian merupakan kejahatan yang paling banyak terjadi pada Desa/Kelurahan di Indonesia, jumlahnya mencapai lebih dari 36-45 persen dari seluruh desa.
Sedangkan kejadian perkelahian massal, selama setahun terakhir terus meningkat dari 3,26 persen Desa/Kelurahan pada tahun 2011 menjadi 3,38 persen Desa/Kelurahan pada tahun 2014, kemudian pada 2018 meningkat kembali menjadi 3,75 persen pada 2018.
“Oleh karena itu, Tujuan SDGs Desa ini menetapkan beberapa target yang harus dicapai pada tahun 2030: tidak adanya kejadian kriminalitas, perkelahian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta kekerasan terhadap anak; lestarinya budaya gotong royong di desa; meningkatkannya indeks demokrasi di desa; serta tidak adanya perdagangan manusia dan pekerja anak.”
Kemitraan untuk mencapai tujuan pembangunan desa ini pada dasarnya merupakan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan desa untuk mewujudkan seluruh tujuan pembangunan berkelanjutan. Karena, pembangunan desa tidak akan berhasil maksimal tanpa keterlibatan pihak-pihak yang terkait. Mulai dari tokoh masyarakat, pemuda penggerak desa, perempuan penggerak ekonomi desa, perguruan tinggi, dunia usaha, supra desa, tentu juga aparatur desa dan Badan Permusyaratan Desa (BPD).
SDGs Desa mensyaratkan adanya kemitraan desa yang baik dengan berbagai tersebut, termasuk juga kemitraan dengan desa lain, atau dengan kelurahan. Karena hanya dengan kemitraan/kerja sama itulah pembangunan berkelanjutan dapat terwujud. Oleh karena itu, desa harus dapat meredam ego demi mewujudkan SDGs Desa 2030.
Semua sektor perlu diperbaiki dengan memanfaatkan teknologi dan pengetahuan untuk menciptakan inovasi. Setiap desa perlu melakukan kebijakan yang terorganisir dan terkoordinir khususnya dengan supra desa, perguruan tinggi maupun dengan dunia usaha.
“Untuk mengukur tercapainya tujuan ini, digunakan beberapa indikator capaian, di antaranya: keberadaan dan bentuk kerja sama desa dengan pihak ketiga; ketersediaan jaringan internet di desa; statistik desa serta komoditas dan aktivitas ekspor oleh desa.”
Kelembagaan desa merupakan komponen yang sangat vital untuk mendorong keberlanjutan pembangunan. Karena itulah, keberadaan kelembagaan Desa harus diperkuat sehingga dapat menopang pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
SDGs Desa berusaha untuk mempertahankan kearifan lokal, serta melakukan revitalisasi dan menggerakan seluruh elemen lembaga-lembaga di tingkat desa. Karena, keterlibatan semua elemen desa, kuat dan berfungsinya lembaga di desa dalam kehidupan masyarakat, akan menjadi penopang kehidupan kebhinnekaan di desa yang dinamis, serta pendorong tercapainya SDGs Desa.
Pada tahun 2018 partisipasi penduduk dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar sudah cukup besar, yaitu sebesar 85,43 persen (BPS, 2018). Apabila dikategorikan berdasarkan tempat tinggal, penduduk perdesaan lebih banyak yang mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan dibandingkan penduduk perkotaan (88,56 persen berbanding 82,94 persen). Adapun tiga kegiatan sosial kemasyarakatan yang paling banyak diikuti penduduk usia 10 tahun ke atas dalam tiga bulan terakhir, yaitu kegiatan kematian (63,87 persen), keagamaan (61,87 persen) dan sosial lainnya (46,82 persen).
“Untuk mencapai tujuan SDGs Desa 2030 ini, digunakan beberapa indikator di antaranya: lestarinya kegiatan tolong menolong dan gotong royong; partisipasi tokoh agama dalam kegiatan pembangunan desa; perlindungan warga desa terhadap kaum lemah dan anak yatim; pelestarian budaya desa; serta penyelesaian masalah warga berdasarkan pendekatan budaya.”